Awake craniotomy (operasi kepala terbuka dalam keadaan pasien sadar) bukan hal anyar dalam jagat bedah saraf. Tetapi, di Indonesia masih jarang dokter yang melakukan teknik tersebut. Terutama saat mengangkat tumor otak. Dokter Irwan Barlian Immadoel Haq SpBS sudah tiga kali melakukan itu.
Dokter Irwan Barlian Immadoel terlihat sudah siap melakukan operasi kemarin. Bajunya sudah hijau, seragam khas kamar operasi. Masker dan penutup kepala juga siap.
Pagi itu lelaki kelahiran 10 November, 35 tahun silam, tersebut kembali bersiap melakukan awake craniotomy di RSUD dr Soetomo. Dia akan membedah kepala pasien yang tetap tersadar selama operasi. Itu adalah kali ketiga Irwan melakukan operasi pengangkatan tumor dengan metode tersebut.
Pasien terbarunya adalah Basuki. ’’Pasien ini mengalami tumor otak jenis astrositoma. Yang diserang bagian sebelah kiri dekat dengan saraf wajah,’’ ujarnya.
Irwan memang sudah makan asam garam soal operasi. Setidaknya, satu hingga dua pasien ditanganinya di meja operasi dalam sehari. Kalau banyak kejadian gawat, dia bahkan bisa menangani sampai tiga kasus. Tetapi, dia membatasi operasi saat Sabtu-Minggu. ’’Itu hari untuk keluarga,’’ katanya.
Meski begitu, dia tak tutup mata saat ada kegawatdaruratan pada hari libur. Dia tetap harus menolong pasien tersebut dan meninggalkan keluarganya. Itu berat memang. Istri dan tiga anaknya kerap protes.
Pernah, dokter lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut berlibur ke Malang bareng keluarga. Tetapi, di tengah perjalanan, ada panggilan darurat muncul. Ada pasien stroke yang butuh penanganan. Mau tak mau, Irwan pun memutar kemudinya. Balik kucing…
Anak-anaknya yang sedang tidur di perjalanan pun terbangun. Mereka protes. ’’Ya sudah. Saya bilang, ada operasi sebentar. Nanti baru berangkat lagi,’’ tutur Irwan.
Janjinya ditepati. Rampung operasi, dokter yang berpraktik di RSUD dr Soetomo itu langsung berangkat lagi ke Malang bareng keluarga.
Irwan sejatinya tidak pernah mempunyai cita-cita sebagai dokter. Apalagi dokter bedah saraf yang kadang harus mengutak-atik otak orang. Baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
’’Dulu awalnya itu mimpi ibu. Beliau ingin jadi dokter, tetapi tidak bisa terwujud,’’ ungkap Irwan. Sang ibu pun memberitahukan kepada anak-anaknya bahwa suatu saat harus ada salah seorang anaknya yang menjadi dokter. Karena tidak ada saudaranya yang berminat menjadi dokter, sedangkan Irwan juga belum memutuskan ingin meneruskan ke mana, dia pun menurut saja ketika diminta meneruskan kuliah sebagai dokter.
’’Ayah yang dulu mendaftarkan kuliah di UMY. Saya nggak tahu sama sekali. Mungkin sudah feeling beliau,’’ ucapnya. Lulus sebagai dokter umum, Irwan masih belum tahu akan melanjutkan menjadi dokter spesialis apa.
Saat itu dia sedang menjalankan internship (magang) di Rumah Sakit Margono Purwokerto. Di sana dia bertemu dengan dr Moh. Targib A. SpBS. Melihat profesionalitas dan kepeduliannya terhadap pasien, Irwan menjadi terinspirasi.
’Beliau care banget sama pasien dan tetap profesional. Karena profesinya bedah saraf, jadi saya ya terinspirasi menjadi seperti itu,’’ jelas lelaki asli Sukabumi tersebut.
Irwan pun menyukai tantangan-tantangan dalam dunia bedah saraf. Misalnya, kasus kegawatdaruratan kecelakaan pendarahan otak serta stroke.
Meski begitu, dokter yang pernah menjalankan fellowship (program kerja bareng) di Jepang tersebut lebih tertarik pada tumor otak. ’’Soalnya, kasus tumor otak itu satu dengan yang lain tidak ada yang sama. Dokter yang tertarik juga belum banyak. Apalagi yang melakukan metode awake craniotomy. Padahal, metode tersebut sudah biasa di luar negeri,’’ ungkap Irwan.
Irwan sangat suka metode operasi dalam keadaan pasien sadar. Sebab, fungsi motorik pasien bisa dilihat secara langsung. Sebab, tidak jarang ada gangguan fungsi saraf yang tak tedeteksi karena pasien dioperasi dalam keadaan tidak sadar. Saat pasien bangun, tiba-tiba ada yang error.
Padahal, untuk mengoperasi pasien dalam keadaan sadar, juga ada tantangannya. Kalau pasien gelisah, otaknya bisa mengalami pembengkakan yang berujung kematian. ’’Karena itu, sebelum melakukan proses ini, tim dokter selalu memberikan pengertian sejelas-jelasnya kepada pasien agar mereka tetap dalam kondisi nyaman saat dibangunkan di ruang operasi,’’ ujar Irwan.
Meski Irwan sering sukses menjalankan operasi, tentu ada kalanya Tuhan berkehendak lain. Pada 2010 dr Irwan menangani pasien yang mengalami kecelakaan dengan pendarahan otak parah.
Kondisi pasien itu begitu parah sehingga Irwan dan tim dokter tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Pasien pun meninggal di meja operasi. Itu adalah kali pertama pasien Irwan meninggal di atas meja operasi.
’’Rasanya ya stres. Sampai berminggu-minggu malah,” ungkapnya. Tetapi, meski begitu, tidak berarti operasi berhenti. Sebagai seorang dokter, dia harus profesional. Kehidupan pribadinya tidak boleh mengganggu pekerjaannya. Dia tetap harus tersenyum dan fokus ketika menghadapi pasien.
’’Stres ini urusan saya, bukan orang lain. Jadi ya harus dipendam sendiri, nggak boleh dilemparkan ke orang lain,” tutur Irwan.
Cara paling ampuh untuk mengobati stresnya, dengan bertemu anak dan istrinya. Melihat tawa dan senyum mereka, Irwan merasa beban yang ditanggung saat bekerja langsung lenyap.
Dengan kesibukannya sebagai dokter, waktu istirahat yang dimiliki pun hanya 3–4 jam. Tetapi, rupanya hal itu tidak mengganggu performanya ketika menangani operasi. Dia tetap bisa fokus dan melakukan operasi dengan baik. ’’Ya nggak mungkin ngantuk. Kan ngelihat darah. Itu jadi adrenalin untuk fokus,’’ ujar dokter yang mengambil spesialis di Universitas Airlangga tersebut.
Keterbatasan waktu istirahatnya tersebut rupanya tidak mengganggu kedekatan dengan tiga putranya. Meski baru tidur jam berapa pun, Irwan selalu menyempatkan bertemu dengan anak-anaknya sebelum berangkat lagi ke rumah sakit. ’’Itu adalah waktu yang paling efektif buat quality time saya dan keluarga. Soalnya, kalau saya pulang kerja, anak-anak kan sudah tidur,” jelasnya.